lagi asyik ngumpul barang-bareng habis memperingati hari guru (POJOK MANIA).

halo.... halo bandung...... siswa siswi lagi asyik nyanyi bersama tuh.

memperingati hari guru.

mr. scoot lagi memberikan ceramah kepada siswa siswi SMAN 1 GALIS.

ayo mana yang menang ???.

Kepala sekolah sedang memberikan penghargaan kepada guru SMAN 1 GALIS

kepala sekolah memberikan bingkisan kepada masyarakat dalam rangka kegiatan sunatan masal di SMAN 1 GALIS.

salah satu koleksi love bird ku.

Senin, 29 November 2010

Peradilan Rakyat

Seorang pengacara muda yang cemerlang mengunjungi ayahnya, seorang pengacara senior yang sangat dihormati oleh para penegak hukum.

"Tapi aku datang tidak sebagai putramu," kata pengacara muda itu, "aku datang ke mari sebagai seorang pengacara muda yang ingin menegakkan keadilan di negeri yang sedang kacau ini."

Pengacara tua yang bercambang dan jenggot memutih itu, tidak terkejut. Ia menatap putranya dari kursi rodanya, lalu menjawab dengan suara yang tenang dan agung.

"Apa yang ingin kamu tentang, anak muda?"
Pengacara muda tertegun. "Ayahanda bertanya kepadaku?"
"Ya, kepada kamu, bukan sebagai putraku, tetapi kamu sebagai ujung
tombak pencarian keadilan di negeri yang sedang dicabik-cabik korupsi ini."
Pengacara muda itu tersenyum.
"Baik, kalau begitu, Anda mengerti maksudku."

"Tentu saja. Aku juga pernah muda seperti kamu. Dan aku juga berani, kalau perlu kurang ajar. Aku pisahkan antara urusan keluarga dan kepentingan pribadi dengan perjuangan penegakan keadilan. Tidak seperti para pengacara sekarang yang kebanyakan berdagang. Bahkan tidak seperti para elit dan cendekiawan yang cemerlang ketika masih di luar kekuasaan, namun menjadi lebih buas dan keji ketika memperoleh kesempatan untuk menginjak-injak keadilan dan kebenaran yang dulu diberhalakannya. Kamu pasti tidak terlalu jauh dari keadaanku waktu masih muda. Kamu sudah membaca riwayat hidupku yang belum lama ini ditulis di sebuah kampus di luar negeri bukan? Mereka menyebutku Singa Lapar. Aku memang tidak pernah berhenti memburu pencuri-pencuri keadilan yang bersarang di lembaga-lembaga tinggi dan gedung-gedung bertingkat. Merekalah yang sudah membuat kejahatan menjadi budaya di negeri ini. Kamu bisa banyak belajar dari buku itu."

Pengacara muda itu tersenyum. Ia mengangkat dagunya, mencoba memandang pejuang keadilan yang kini seperti macan ompong itu, meskipun sisa-sisa keperkasaannya masih terasa.

"Aku tidak datang untuk menentang atau memuji Anda. Anda dengan seluruh sejarah Anda memang terlalu besar untuk dibicarakan. Meskipun bukan bebas dari kritik. Aku punya sederetan koreksi terhadap kebijakan-kebijakan yang sudah Anda lakukan. Dan aku terlalu kecil untuk menentang bahkan juga terlalu tak pantas untuk memujimu. Anda sudah tidak memerlukan cercaan atau pujian lagi. Karena kau bukan hanya penegak keadilan yang bersih, kau yang selalu berhasil dan sempurna, tetapi kau juga adalah keadilan itu sendiri."

Pengacara tua itu meringis.
"Aku suka kau menyebut dirimu aku dan memanggilku kau. Berarti kita bisa bicara sungguh-sungguh sebagai profesional, Pemburu Keadilan."
"Itu semua juga tidak lepas dari hasil gemblenganmu yang tidak kenal ampun!"
Pengacara tua itu tertawa.
"Kau sudah mulai lagi dengan puji-pujianmu!" potong pengacara tua.
Pengacara muda terkejut. Ia tersadar pada kekeliruannya lalu minta maaf.

"Tidak apa. Jangan surut. Katakan saja apa yang hendak kamu katakan," sambung pengacara tua menenangkan, sembari mengangkat tangan, menikmati juga pujian itu, "jangan membatasi dirimu sendiri. Jangan membunuh diri dengan diskripsi-diskripsi yang akan menjebak kamu ke dalam doktrin-doktrin beku, mengalir sajalah sewajarnya bagaikan mata air, bagai suara alam, karena kamu sangat diperlukan oleh bangsamu ini."

Pengacara muda diam beberapa lama untuk merumuskan diri. Lalu ia meneruskan ucapannya dengan lebih tenang.

"Aku datang kemari ingin mendengar suaramu. Aku mau berdialog."
"Baik. Mulailah. Berbicaralah sebebas-bebasnya."

"Terima kasih. Begini. Belum lama ini negara menugaskan aku untuk membela seorang penjahat besar, yang sepantasnya mendapat hukuman mati. Pihak keluarga pun datang dengan gembira ke rumahku untuk mengungkapkan kebahagiannya, bahwa pada akhirnya negara cukup adil, karena memberikan seorang pembela kelas satu untuk mereka. Tetapi aku tolak mentah-mentah. Kenapa? Karena aku yakin, negara tidak benar-benar menugaskan aku untuk membelanya. Negara hanya ingin mempertunjukkan sebuah teater spektakuler, bahwa di negeri yang sangat tercela hukumnya ini, sudah ada kebangkitan baru. Penjahat yang paling kejam, sudah diberikan seorang pembela yang perkasa seperti Mike Tyson, itu bukan istilahku, aku pinjam dari apa yang diobral para pengamat keadilan di koran untuk semua sepak-terjangku, sebab aku selalu berhasil memenangkan semua perkara yang aku tangani.

Aku ingin berkata tidak kepada negara, karena pencarian keadilan tak boleh menjadi sebuah teater, tetapi mutlak hanya pencarian keadilan yang kalau perlu dingin danbeku. Tapi negara terus juga mendesak dengan berbagai cara supaya tugas itu aku terima. Di situ aku mulai berpikir. Tak mungkin semua itu tanpa alasan. Lalu aku melakukan investigasi yang mendalam dan kutemukan faktanya. Walhasil, kesimpulanku, negara sudah memainkan sandiwara. Negara ingin menunjukkan kepada rakyat dan dunia, bahwa kejahatan dibela oleh siapa pun, tetap kejahatan. Bila negara tetap dapat menjebloskan bangsat itu sampai ke titik terakhirnya hukuman tembak mati, walaupun sudah dibela oleh tim pembela seperti aku, maka negara akan mendapatkan kemenangan ganda, karena kemenangan itu pastilah kemenangan yang telak dan bersih, karena aku yang menjadi jaminannya. Negara hendak menjadikan aku sebagai pecundang. Dan itulah yang aku tentang.

Negara harusnya percaya bahwa menegakkan keadilan tidak bisa lain harus dengan keadilan yang bersih, sebagaimana yang sudah Anda lakukan selama ini."

Pengacara muda itu berhenti sebentar untuk memberikan waktu pengacara senior itu menyimak. Kemudian ia melanjutkan.

"Tapi aku datang kemari bukan untuk minta pertimbanganmu, apakah keputusanku untuk menolak itu tepat atau tidak. Aku datang kemari karena setelah negara menerima baik penolakanku, bajingan itu sendiri datang ke tempat kediamanku dan meminta dengan hormat supaya aku bersedia untuk membelanya."

"Lalu kamu terima?" potong pengacara tua itu tiba-tiba.
Pengacara muda itu terkejut. Ia menatap pengacara tua itu dengan heran.
"Bagaimana Anda tahu?"

Pengacara tua mengelus jenggotnya dan mengangkat matanya melihat ke tempat yang jauh. Sebentar saja, tapi seakan ia sudah mengarungi jarak ribuan kilometer. Sambil menghela napas kemudian ia berkata: "Sebab aku kenal siapa kamu."

Pengacara muda sekarang menarik napas panjang.
"Ya aku menerimanya, sebab aku seorang profesional. Sebagai seorang pengacara aku tidak bisa menolak siapa pun orangnya yang meminta agar aku melaksanakan kewajibanku sebagai pembela. Sebagai pembela, aku mengabdi kepada mereka yang membutuhkan keahlianku untuk membantu pengadilan menjalankan proses peradilan sehingga tercapai keputusan yang seadil-adilnya."

Pengacara tua mengangguk-anggukkan kepala tanda mengerti.
"Jadi itu yang ingin kamu tanyakan?"
"Antara lain."
"Kalau begitu kau sudah mendapatkan jawabanku."
Pengacara muda tertegun. Ia menatap, mencoba mengetahui apa yang ada di dalam lubuk hati orang tua itu.
"Jadi langkahku sudah benar?"
Orang tua itu kembali mengelus janggutnya.

"Jangan dulu mempersoalkan kebenaran. Tapi kau telah menunjukkan dirimu sebagai profesional. Kau tolak tawaran negara, sebab di balik tawaran itu tidak hanya ada usaha pengejaran pada kebenaran dan penegakan keadilan sebagaimana yang kau kejar dalam profesimu sebagai ahli hukum, tetapi di situ sudah ada tujuan-tujuan politik. Namun, tawaran yang sama dari seorang penjahat, malah kau terima baik, tak peduli orang itu orang yang pantas ditembak mati, karena sebagai profesional kau tak bisa menolak mereka yang minta tolong agar kamu membelanya dari praktik-praktik pengadilan yang kotor untuk menemukan keadilan yang paling tepat. Asal semua itu dilakukannya tanpa ancaman dan tanpa sogokan uang! Kau tidak membelanya karena ketakutan, bukan?"
"Tidak! Sama sekali tidak!"
"Bukan juga karena uang?!"
"Bukan!"
"Lalu karena apa?"
Pengacara muda itu tersenyum.
"Karena aku akan membelanya."
"Supaya dia menang?"

"Tidak ada kemenangan di dalam pemburuan keadilan. Yang ada hanya usaha untuk mendekati apa yang lebih benar. Sebab kebenaran sejati, kebenaran yang paling benar mungkin hanya mimpi kita yang tak akan pernah tercapai. Kalah-menang bukan masalah lagi. Upaya untuk mengejar itu yang paling penting. Demi memuliakan proses itulah, aku menerimanya sebagai klienku."
Pengacara tua termenung.
"Apa jawabanku salah?"
Orang tua itu menggeleng.

"Seperti yang kamu katakan tadi, salah atau benar juga tidak menjadi persoalan. Hanya ada kemungkinan kalau kamu membelanya, kamu akan berhasil keluar sebagai pemenang."

"Jangan meremehkan jaksa-jaksa yang diangkat oleh negara. Aku dengar sebuah tim yang sangat tangguh akan diturunkan."

"Tapi kamu akan menang."
"Perkaranya saja belum mulai, bagaimana bisa tahu aku akan menang."

"Sudah bertahun-tahun aku hidup sebagai pengacara. Keputusan sudah bisa dibaca walaupun sidang belum mulai. Bukan karena materi perkara itu, tetapi karena soal-soal sampingan. Kamu terlalu besar untuk kalah saat ini."

Pengacara muda itu tertawa kecil.
"Itu pujian atau peringatan?"
"Pujian."
"Asal Anda jujur saja."
"Aku jujur."
"Betul?"
"Betul!"

Pengacara muda itu tersenyum dan manggut-manggut. Yang tua memicingkan matanya dan mulai menembak lagi.
"Tapi kamu menerima membela penjahat itu, bukan karena takut, bukan?"

"Bukan! Kenapa mesti takut?!"
"Mereka tidak mengancam kamu?"
"Mengacam bagaimana?"
"Jumlah uang yang terlalu besar, pada akhirnya juga adalah sebuah ancaman. Dia tidak memberikan angka-angka?"

"Tidak."
Pengacara tua itu terkejut.
"Sama sekali tak dibicarakan berapa mereka akan membayarmu?"
"Tidak."
"Wah! Itu tidak profesional!"
Pengacara muda itu tertawa.
"Aku tak pernah mencari uang dari kesusahan orang!"
"Tapi bagaimana kalau dia sampai menang?"
Pengacara muda itu terdiam.
"Bagaimana kalau dia sampai menang?"
"Negara akan mendapat pelajaran penting. Jangan main-main dengan kejahatan!"
"Jadi kamu akan memenangkan perkara itu?"
Pengacara muda itu tak menjawab.
"Berarti ya!"
"Ya. Aku akan memenangkannya dan aku akan menang!"

Orang tua itu terkejut. Ia merebahkan tubuhnya bersandar. Kedua tangannya mengurut dada. Ketika yang muda hendak bicara lagi, ia mengangkat tangannya.

"Tak usah kamu ulangi lagi, bahwa kamu melakukan itu bukan karena takut, bukan karena kamu disogok."
"Betul. Ia minta tolong, tanpa ancaman dan tanpa sogokan. Aku tidak takut."

"Dan kamu menerima tanpa harapan akan mendapatkan balas jasa atau perlindungan balik kelak kalau kamu perlukan, juga bukan karena kamu ingin memburu publikasi dan bintang-bintang penghargaan dari organisasi kemanusiaan di mancanegara yang benci negaramu, bukan?"

"Betul."
"Kalau begitu, pulanglah anak muda. Tak perlu kamu bimbang.

Keputusanmu sudah tepat. Menegakkan hukum selalu dirongrong oleh berbagai tuduhan, seakan-akan kamu sudah memiliki pamrih di luar dari pengejaran keadilan dan kebenaran. Tetapi semua rongrongan itu hanya akan menambah pujian untukmu kelak, kalau kamu mampu terus mendengarkan suara hati nuranimu sebagai penegak hukum yang profesional."

Pengacara muda itu ingin menjawab, tetapi pengacara tua tidak memberikan kesempatan.
"Aku kira tak ada yang perlu dibahas lagi. Sudah jelas. Lebih baik kamu pulang sekarang. Biarkan aku bertemu dengan putraku, sebab aku sudah sangat rindu kepada dia."

Pengacara muda itu jadi amat terharu. Ia berdiri hendak memeluk ayahnya. Tetapi orang tua itu mengangkat tangan dan memperingatkan dengan suara yang serak. Nampaknya sudah lelah dan kesakitan.

"Pulanglah sekarang. Laksanakan tugasmu sebagai seorang profesional."
"Tapi..."

Pengacara tua itu menutupkan matanya, lalu menyandarkan punggungnya ke kursi. Sekretarisnya yang jelita, kemudian menyelimuti tubuhnya. Setelah itu wanita itu menoleh kepada pengacara muda.
"Maaf, saya kira pertemuan harus diakhiri di sini, Pak. Beliau perlu banyak beristirahat. Selamat malam."

Entah karena luluh oleh senyum di bibir wanita yang memiliki mata yang sangat indah itu, pengacara muda itu tak mampu lagi menolak. Ia memandang sekali lagi orang tua itu dengan segala hormat dan cintanya. Lalu ia mendekatkan mulutnya ke telinga wanita itu, agar suaranya jangan sampai membangunkan orang tua itu dan berbisik.

"Katakan kepada ayahanda, bahwa bukti-bukti yang sempat dikumpulkan oleh negara terlalu sedikit dan lemah. Peradilan ini terlalu tergesa-gesa. Aku akan memenangkan perkara ini dan itu berarti akan membebaskan bajingan yang ditakuti dan dikutuk oleh seluruh rakyat di negeri ini untuk terbang lepas kembali seperti burung di udara. Dan semoga itu akan membuat negeri kita ini menjadi lebih dewasa secepatnya. Kalau tidak, kita akan menjadi bangsa yang lalai."

Apa yang dibisikkan pengacara muda itu kemudian menjadi kenyataan. Dengan gemilang dan mudah ia mempecundangi negara di pengadilan dan memerdekaan kembali raja penjahat itu. Bangsat itu tertawa terkekeh-kekeh. Ia merayakan kemenangannya dengan pesta kembang api semalam suntuk, lalu meloncat ke mancanegara, tak mungkin dijamah lagi. Rakyat pun marah. Mereka terbakar dan mengalir bagai lava panas ke jalanan, menyerbu dengan yel-yel dan poster-poster raksasa. Gedung pengadilan diserbu dan dibakar. Hakimnya diburu-buru. Pengacara muda itu diculik, disiksa dan akhirnya baru dikembalikan sesudah jadi mayat. Tetapi itu pun belum cukup. Rakyat terus mengaum dan hendak menggulingkan pemerintahan yang sah.

Pengacara tua itu terpagut di kursi rodanya. Sementara sekretaris jelitanya membacakan berita-berita keganasan yang merebak di seluruh wilayah negara dengan suaranya yang empuk, air mata menetes di pipi pengacara besar itu.

"Setelah kau datang sebagai seorang pengacara muda yang gemilang dan meminta aku berbicara sebagai profesional, anakku," rintihnya dengan amat sedih, "Aku terus membuka pintu dan mengharapkan kau datang lagi kepadaku sebagai seorang putra. Bukankah sudah aku ingatkan, aku rindu kepada putraku. Lupakah kamu bahwa kamu bukan saja seorang profesional, tetapi juga seorang putra dari ayahmu. Tak inginkah kau mendengar apa kata seorang ayah kepada putranya, kalau berhadapan dengan sebuah perkara, di mana seorang penjahat besar yang terbebaskan akan menyulut peradilan rakyat seperti bencana yang melanda negeri kita sekarang ini?" ***
By Yeny Rosa Class X7

GORESAN CINTA

Steven Raditya. Sahabat terbaik yang pernah ku miliki. Sahabat yang selalu membuat duniaku berwarna. Sahabat yang selalu ada saat aku membutuhkan tempat untuk bercerita. Sahabat yang sudah mengerti sifat-sifatku dan aku merasa sangat beruntung memiliki sahabat sepertinya.Aku dan Ditya mempunyai hobi yang sama, yaitu bermain musik. Alat musik yang dikuasai Ditya adalah piano, sedangkan aku senang bermain biola. Namun Ditya lebih pandai menyalurkan bakatnya, Ditya sering mengikuti konser atau perlombaan, bahkan Ditya pernah mengikuti lomba di Amerika. Keahlian Ditya memang sudah terbukti, Ditya banyak mendapatkan penghargaan dan hal itu membuatku iri.Aku memang senang bermain biola namun aku tahu bahwa kemampuanku masih sangat standar. Aku tidak seperti Ditya yang mengikuti kursus, aku berlatih sendiri. Dulu sewaktu aku berusia 7 tahun, mama mengajariku bermain biola. Mama adalah pemain biola yang cukup terkenal, namun saat ingin mengikuti konser di Perancis, pesawat yang ditumpanginya mengalami kecelakaan dan akhirnya mama meninggal. Seluruh keluargaku sangat terpukul atas kejadian itu dan karena aku anak tunggal, mereka mengharapkan aku untuk menjadi penerus mama.Aku sebenarnya kesulitan untuk mewujudkan harapan itu karena mereka meminta agar aku belajar bermain biola sendiri dan tidak mengikuti kursus, seperti yang dilakukan mama dulu. Ditya selalu memberiku semangat, dia selalu mengingatkanku untuk terus berlatih. Bahkan Ditya sering menawariku untuk mengikuti perlombaan di tempat kursusnya, hanya saja aku merasa belum siap dan aku menolaknya.“Rel, ada perlombaan biola lagi lho. Para juaranya nanti dapat kesempatan untuk sekolah musik di Paris. Ikut dong!” ajak Ditya seperti biasanya.“Mmm…tidak deh. Aku merasa belum siap Dit.”“Lalu kapan kamu merasa siap? Jadi orang itu harus berani mencoba. Cari pengalaman saja. Ingat Rel, kamu harus menjadi penerus mama mu,” kata Ditya.“Tapi aku…”“Sudah ikut aja! Nanti aku ambilkan formulirnya.”Ya, Ditya benar. Aku harus mulai mencoba. Menang atau kalah itu urusan belakangan yang jelas aku harus mengikuti perlombaan itu dan yang terpenting keluargaku harus mengetahui hal ini. Aku harus membuktikan bahwa aku bisa.Jhari ini adalah babak penyisihan pertama. Aku memang akhirnya setuju untuk mengikuti perlombaan itu. Papa, kakek dan Ditya datang menemaniku. Jujur, aku takut. Aku belum pernah bermain biola di depan banyak orang. “Aurel, Papa dan Kakek sangat mengharapkan kamu bisa lolos dipenyisihan ini. Tunjukan pada kami.” Tiba-tiba papa menghampiriku.Kata-kata papa terus terngiang di pikiranku. Aku menjadi sangat terbebani dengan kata-kata papa. “Aurel, lolos atau tidak, itu urusan belakangan. Aku juga sering gagal kok. Justru kegagalan itu adalah pelajaran yang paling baik. Sekarang kamu bermain dengan hati.” Ditya berusaha menghiburku. “Berikutnya kita panggil peserta dengan nomor undian 10, Aurel Patrecia. Beri sambutan yang meriah.” MC sudah memanggil namaku, ini saatnya untuk mempersembahkan yang terbaik.Tepuk tangan menyambutku saat aku berada tepat di tengah panggung. Aku memberanikan diri untuk tersenyum, meski sangat gugup. Di kursi penonton aku melihat ayah, kakek dan Ditya menatapku penuh arti. “Saya akan membawakan lagu ciptaan mama saya, Jessica Patrecia, I Wish You Hear My Song dan Give Me Your Love.” Kutarik napas dalam-dalam, lalu aku mulai mengesek biolaku. Aku mencoba menghayati setiap nada yang terdengar. Sampai pada lagu terakhir, aku merasa semua penonton terdiam, aku tidak tahu, mungkin permainanku tidak bagus.Tapi setelah aku berhenti memainkan biolaku, ku dengar tepuk tangan riuh dari para penonton. Semoga apa yang ku tampilkan adalah yang terbaik. “Permainan yang bagus, Rel. Selamat.” Ditya memelukku saat aku turun dari panggung.Aku hanya tersenyum kecil. Ditya mengajakku duduk di bangku penonton untuk menyaksikan penampilan para peserta lain. Aku tidak yakin bisa masuk 15 besar. Jumlah seluruh pesertanya saja hampir 50 orang dan menurutku semua peserta bermain bagus.“Baik, semua peserta sudah menampilkan yang terbaik. Kini saatnya pengumuman para peserta yang lolos 15 besar.”Aku mendengar tepuk tangan yang meriah dari penonton. Aku merasa takut.“Bianka Stevani, Riana Sandra, Kevin Junio, Gilang…..”Lama sekali. Kenapa namaku tidak disebut? “Yang terakhir adalah Aurel Patrecia. Selamat kalian semua lolos ke 15 besar. Grand final akan diadakan 4 bulan lagi. Tingkatkan kemampuan kalian dan tunjukan pada saat grand final. Terima kasih,” kata MC, sebelum akhirnya meninggalkan panggung. “Selamat Aurel, kamu sudah membuktikan pada Kakek dan Papa. Mamamu pasti bangga. Buktikan 4 bulan mendatang. ” Kakek memelukku. Aku merasa sangat senang.“Aurel aku punya satu berita lagi. Dua bulan lagi aku akan mengadakan konser tunggal. Aku mau kamu bermain bersamaku, Nyonya Aurel,” ajak Ditya sambil tertawa.“A..apa? Tidak, terima kasih, Tuan Ditya,” jawabku cepat.“Oh, baik kalau begitu. Aku marah.” Ditya cemberut.“Yah, kok marah sih? Ya sudah lah. Aku mau. “JJJ Ini saatnya, beberapa menit lagi konser tunggal Ditya dimulai. Ayah Ditya sudah mempersiapkan semuanya, mulai dari tempat, dekorasi, MC serta piano indah di atas panggung dan semuannya sangat menakjubkan. Penonton yang hadir bukan hanya keluarga Ditya saja, tapi juga teman-teman Ditya, beberapa musisi terkenal, dan beberapa artis. Acara kini sudah dimulai. Ditya sudah duduk di depan pianonya, di atas panggung. Hari ini penampilan Ditya sangat berbeda, lebih segar. Dia menggunakan kemeja putih yang sangat serasi dengan warna pianonya. Ditya akan memainkan 10 lagu dan 1 buah lagu akan dimainkan bersamaku. Sambil bermain piano, Ditya juga bernyanyi. Suaranya sangat indah. Semua penonton terdiam seakan terbius oleh penampilan Ditya. “Lagu yang terakhir berjudul You Are The Best Angel. Tapi kali ini saya akan ditemani sahabat saya, Aurel. Saya mohon tepuk tangannya untuk Aurel,” ujar Ditya di atas panggung.Aku naik ke atas panggung. Ku tatap semua penonton, lalu tersenyum. Ditya menganggukan kepalanya. Sorot matanya benar-benar dalam. Aku tersenyum padanya dan mulai menggesek biolaku.Suara lembut Ditya membuatku sangat berhati-hati akan permainanku. Sampai-sampai aku tidak menghayatinya. Aku gugup. Tiba-tiba nada yang kumainkan fals. Saat ku tatap Ditya, dia tampak bingung. Aku semakin tegang. Aku sudah melakukan kesalahan. Fatal.Ditya berhenti memainkan pianonya. Ku lihat tangannya gemetar. Dia menatapku cemas. Kesalahanku saat bermain biola mengakibatkan Ditya menjadi bingung dan melakukan kesalahan juga. Kami terdiam. Ku dengar penonton mulai berisik. Ditya panik.Ditya melanjutkan lagunya tanpa diiringi piano. Setelah lagu selesai dinyanyikan, penonton bertepuk tangan. Wajah Ditya pucat. Dia langsung pergi meninggalkanku di atas panggung. Aku segera mencari Ditya di ruang kostum. Saat ingin membuka pintu, aku mendengar percakapan di dalam.“Anak bodoh. Kenapa kamu melakukan kesalahan? Kamu tahu, banyak teman-teman Papa yang menonton, mau ditaruh mana muka Papa. Keterlaluan.”“Maaf. Aku benar-benar gugup. Aku binggung, Pa.”“Makanya, dengarkan kata-kata Papa. Tidak perlu kamu mengajak pemain biola gadungan seperti dia. Berbakat apa? Permainannya sangat jelek. Seperti pengamen kampungan.”Tiba-tiba pintu terbuka. Papa Ditya kaget melihat aku yang berdiri di depan pintu. Papa Ditya tidak berkata apa-apa. Beliau langsung pergi setelah menatapku tajam.Ditya menatapku tajam.“Puas kamu, Rel? Sudah puas kamu mempermalukan aku? Sudah puas menghancurkan keinginanku?” teriak Ditya.“Maaf. Aku benar-benar gugup. Ak…aku…”“Halah, sudahlah. Kamu itu teman yang tidak tahu berterima kasih.”Ditya lalu berdiri menghampiriku dan mengambil biola yang ku pegang lalu melemparnya sekuat tenaga. Biolaku menghantam tembok, Ditya juga menginjak biola itu dan patah. “Ditya, biolaku?”“Biarkan. Biolamu tidak ada gunanya. Hanya membawa kesialan. Aku benci biola itu dan aku benci kamu, Aurel. Semua yang telah aku persiapkan bertahun-tahun, hanya dalam hitungan menit kamu hancurkan bersama biolamu yang gembel itu,” bentak Ditya.“Cukup Dit. Aku memang salah. Aku memang pemain biola gadungan. Aku seperti pengamen kampungan. Tapi Dit, biolaku ini sangat berharga, ini peninggalan almarhum mama. Kamu boleh mencaciku. Tapi bukan dengan merusak biolaku. Jika konsermu kali ini gagal, kamu bisa mengadakan konser lagi. Tapi aku? Apa aku bisa mendapatkan biola sama persis seperti ini? Pikir, Dit!! Kamu terlalu egois. Tidak memikirkan perasaanku juga.”Aku tidak bisa menahan tangisku. Aku pergi meninggalkan Ditya. Aku benci hari ini. Benci semua kebodohan yang sudah aku lakukan. Maaf Ditya, tapi kamu keterlaluan.Ternyata hidup tanpa sahabat itu sangat tidak nyaman. Sepi. Itu yang aku rasakan 2 minggu terakhir ini. Aku dan Ditya memang sudah tidak berkomuikasi lagi. Tapi memang itu adalah jalan terbaik. Pagi ini kuawali hari dengan kemalasan. Saat ingin berangkat sekolah, seperti biasa aku tidak bertemu papa. Dia pasti sudah berangkat kerja. Hanya ada Mbok Jum yang setia menemani pagiku. Aku menemukan sebuah biola berwarna merah muda di depan pintu rumahku. Sangat cantik. Aku heran, mengapa ada biola di depan pintu rumah. Siapa yang meletakannya? Oh…mungkin papa ingin memberi kejutan.“Rel, aku turut berdukacita, ya,” ucap Santya saat aku baru tiba di kelas.“Apa?” tanyaku heran.“Sabar ya, Rel, semua pasti ada hikmahnya,” kata seorang murid lain.Dan dengan seketika semua orang yang berada di dalam kelas menghampiriku, menyalamiku dan berusaha menghiburku. Seakan ada sesuatu hal yang terjadi. Tapi aku belum juga mengerti.“Gina, ada apa sih? Kok teman-teman menyalamiku?” tanyaku pada Gina akhirnya.“Lho? Kamu gimana sih, Rel. Semua menyalami kamu karena kita turut berdukacita atas meninggalnya Ditya, dia kan sahabat kamu. Jadi pasti kamu sedih banget, ya? Sabar ya, Rel.”Tuhan, apa yang baru aku dengar? Ditya? Steven Raditya? Meninggal? Aku pasti mimpi. Ditya tidak mungkin meninggal. Sangat konyol. Tuhan sadarkan aku dari mimpi buruk ini? Jantungku berdetak kencang. Pandanganku mulai berbayang. Tubuhku lemas hingga akhirnya semuannya menjadi gelap. Aku bahagia atas semua anugrah yang Tuhan beri….Terlebih saat ku menemukan wanita terindah seperti dirinya…Mampu hadirkan cinta disetiap hembusan nafasku….Beriku kedamaian disetiap langkah hidupku…Sentuhan kehangatan dalam setiap mimpi-mimpiku…Sayang, aku terlalu bodoh….tak mampu menjaga hatinya…Melukai perasaannya…Membuat hatinya mati kepadaku…Kini, dalam sepinya kalbu, aku akan pergiBawa putihnya cintaku dan berharap dirinya kan behagia…..SR dalam goresan cintaRibuan kali aku membaca surat itu namun air mataku tetap tidak mau berhenti. Surat itu diberikan oleh Papa Ditya saat aku datang ke rumahnya. Ditya, mengapa semua ini terjadi? Mengapa kamu benar-benar pergi dari hidupku? Perih rasanya mengingat Ditya.Bayang-bayang kematian Ditya yang tragis seolah menghantuiku. Ditya meninggal setelah mengantarkan biola itu ke rumahku, dia kecelakaan, mobilnya tertabrak kereta api dan kini aku membenci diriku sendiri. Aku membenci biola itu? Ya, biola merah muda yang sangat cantik dari Ditya dan dibelakang biola itu ada inisial namaku, AP. Ditya ingin menggantikan biolaku yang rusak dengan yang baru. Sayangnya setelah biola itu tergantikan, justru Ditya yang kini membuat hatiku sakit. Mengenangnya, mengingat semua tentang persahabatan kita, sungguh menyesakan dadaku. Ingin ku putar waktu dan perbaiki semua kesalahkan ku pada Ditya.Penyesalan ini sungguh memilukan. Aku benci biola!!! Biola telah membuat 2 orang yang aku sayangi pergi meninggalkanku. mama, Ditya, lalu besok siapa lagi? Aku benci biola! Aku benci mendengar setiap nada yang dihasilkan barang itu. Aku benci mendengar setiap alunan nadanya. Nada yang membuatku mengingat semua kenangan pahit. Akan ku buang jauh-jauh impianku untuk menjadi pemain biola . Maaf mama, papa, Ditya, aku tidak akan menyentuh biola lagi. Terlalu banyak kenangan buruk yang sudah kulewati bersama biola. Aku tidak akan melanjutkan perlombaan itu. “Selamat datang pada konser kolaborasi 2 musisi handal. Para hadirin dipersilakan duduk dengan tenang karena konser akan kita mulai. Ini dia, Jesicca Patrecia dan Steven Raditya. Beri tepuk tangan yang meriah.Mama? Ditya? Aku melihat mereka. Aku harap semua yang ada di depan mataku benar. Mama, Ditya, aku sangat merindukan kalian. Tapi bagimana mungkin mereka dapat konser bersama? Bukankah mama tidak mengenal Ditya? “Lagu ini kami persembahkan untuk seseorang yang sangat kami cintai. Dia sedang menghadapi banyak cobaaan. Tapi kami yakin, dia pasti mampu menghadapi semuanya. Lagu ini berjudul Give Me The Best.” Sudah lama aku tidak mendengar suara mama.Beberapa saat kemudian, mama memainkan biola biru muda kesayangannya dan Ditya dengan indah menyanyi dan memainkan pianonya. Semua penonton membisu, termasuk aku. Mendengarkan dan menghayati setiap syair lagu. Hingga sampai lagu selesai, tatapan mataku tidak pernah lepas dari mereka.“Untuk seseorang yang berada di bangku penonton, saya hanya ingin berkata, bahwa jangan pernah menyia-nyiakan talenta yang sudah Tuhan beri. Pergunakanlah, karena tidak semua orang memiliki kemampuan itu. Aurel, mainkanlah nada-nada indah melalui biolamu. Buatlah kami tersenyum. Mendengar setiap alunan indah yang kan tercipta.” Dengan segera aku berusaha berlari mengejar bayangan mama dan Ditya yang semakin menjauh. “Mama……….Ditya……..” teriakku. Keringat mengalir di tubuhku. Aku tersentak. Ketika ku sadari, aku masih berada di atas kasur. Bukan di konser. Jadi semua itu hanya mimpi? Kenapa terasa begitu nyata? Lalu apa maksud dari perkataan Ditya dan mama? Tuhan…bantu aku menjawab semua ini. Aku tidak mengerti.Paris.Kini kehidupanku berlanjut di kota impian mama, saat mama ingin mengadakan konser dulu. Akhirnya aku mengikuti Grand Final lomba biola itu dan ternyata Tuhan mempunyai rencana indah untukku. Aku menang dan aku mendapat beasiswa untuk memperdalam kemampuanku bermusik. Di Paris. Aku meninggalkan bangku SMA yang banyak memberiku kenangan. Berat memang. Tapi inilah keputusanku. Semua ini kupersembahkan untuk mama, papa dan Ditya. Juga semua orang yang telah mendukungku.. Aku dan biola akan tetap bersatu.Aku dan musik tidak akan pernah terpisahkan lagi.Aku memainkan biolaku. Memainkan lagu ciptaan mama, memainkan lagu ciptaan Ditya. Dalam setiap alunan nadanya mengantarkan rasa rindu dan sayangku untuk mama dan Ditya yang kini berada di tempat terindah.Terima kasih untuk semua yang telah kalian berikan. Terima kasih atas setiap goresan cinta yang telah tercipta.
By Rizky yunita Class X7

Aku Butuh Bunda

Waktu fajar telah tiba,suara adzan shubuh mulai berkumandang dimana-mana.Mata yang aku pejamkan perlahan-lahan terbuka.Kulihat ke arah jam dinding dikamarku yang telah menunjukan pukul 04.30 WIB,Dengan cepatku bangun dari tempat tidurku dan bergegas untuk mengambil air wudhu.Aku menoleh ke arah ruang tamu,ternyata bunda sudah pulang bekerja.Aku langsung mengambilkan selimut dan kuselimuti bunda.Sengaja aku tidak membangunkanya, mungkin sekarang dia kelelahan sehabis bekerja ,sampai ia tertidur di sofa. Selesai aku berwudhu, ku pakai sarung dan juga baju koko berwarna putihku dan ku siap untuk melaksanakan shalat shubuh berjama'ah di masjid. Aku mulai beranjak keluar dari rumahku ,setapak demi setapak ku mulai berjalan menuju masjid yang dekat dengan rumahku . Sesampai di masjid aku mulai shalat shubuh berjama'ah dengan khusyuk.Selesai shalat aku tidak pernah lupa berdo'a untuk kedua orangtuaku ,terutama aku berdo'a untuk ayahku yang sudah lama meninggalkan aku.Semoga ayah tenang d alam sana dan segla dosa-dosanya di ampunkan oleh Allah SWT,dan aku juga tidak pernah lupa berdo'a untuk bundaku,semoga bunda di berikan kesabaran dan kemudahan dalam menghadapi pekerjaanya,karena semenjak ayahku meninggal,bundalah yang bekerja menggantikan ayah. Setelah do'aku seleai aku mulai beranjak untuk pulang.Kubuka pintu rumahku dengan pelan-pelan dan hati-hati agar aku tidak membangunkan bunda yang sedang tertidur pulas di sofa . Aku berjalan menuju dapur untuk membuat segelas teh panas.Karna hari ini hari minggu aku bebas karna tidak ada kelas. "Lagi apa Ram?" tanya neneku sampai mengagetkanku. "Lagi buat teh manis nek,buat bunda!" jawabku kepada nenek. "Bunda sudah pulang? sejak kapan?" tanya nenek kepadaku lagi. "Sudah nek ,tadi shubuh pulangnya,sekarang bunda sedang tertidur pulas di sofa!" jawabku lagi. "Oh yasudah nenek mau shalat shubuh dulu, nanti baru bertemu bunda!". Aku langsung meninggalkan nenek dan membawa segelas teh panas ke ruang tamu sambil memikirkan apa yang nanti akan aku ceritakan dan tanyakan ke bunda,karna aku sudah sebulan ini tidak bertemu bunda,bunda ada tugas keluar kota dari kantornya.Kuhampiri bunda dan pelan-pelan aku bangunkan bunda. "Bun,bunda,bangun bunda sudah pagi nih,Rama sudah buatkan segelas teh manis panas buat bunda!"Bunda hanya berkata "Hmmp,Ia taruh saja teh manisnya di atas meja!"Kutaruh segelas teh manis panas di atas meja ruang tamu sesuai apa yang dikatakan bunda,dan aku langsung keluar duduk di depan teras rumahku sambil memikirkan bunda. "Apa bunda tidak menyangiku dan tidak mau menggurus aku,karna bunda sibuk bekerja?itukah sebabnya aku diasuh nenek?" tanyaku yang tiba-tiba terlintas dalam pikiran dan hatiku. "Ei,ngelamun aja !,nanti kesambet loh!" tanya nenek mengagetkanku. "Ah nenek mengagetkanku saja! siapa lagi yang melamun?" jawabku kepada nenek .Nenek langsung menghampiriku dan beliau duduk di sebelahku. "Memangnya lagi ngelamunin apa sih kamu?cerita saja ke nenek!" nenek menanyakan apa yang sedang aku lamunkan. "Nenek,apakah bunda tidak pernah menyangi Rama?" tanyaku terpatah-patah. "Siapa bilang?" jawab nenek singkat. "Tidak ada yang bilang ,Rama merasa bunda tidak pernah menyayangi Rama lagi,bunda juga tidak mau mengurus Rama.Bunda selalu sibuk bekerja,itulah sebabnya Rama diasuh nenek sampai sekarang!"Nenek mengaguk-anguk mulai memahami persoalan aku,namun nenek belum menanggapi pertanyaanku. "Mandi dulu sana ,nanti kita bicarakan lagi hal ini!" bujuk nenek seakan-akan mengalihkan pembicaraan.Sesekali terdengar helaan nafas panjang nenek. "Benarkah bunda tidak menyangiku dan tidak mau mengasuh Rama nek?" desak aku penasaran.nenek menatapku dengan lembut.Dengan penuh kasih sayang tanganya yang keriput membelaiku. "Apakah kamu merasa begitu Ram?"Aku terdiam sejenak. "Ya,begitulah yang Rama rasakan sekarang . Semenjak ayah meninggal bundalah yang bekerja menggantikanya dan bunda selalu mementingkan pekerjaanya dari pada mengasuh anaknya sendiri.Aku selalu iri bila melihat ibunya Arif temanku yang mempunyai ibu yang juga kerja di kantor seperti bunda ,tapi ia selalu memberikan kasih sayang dan mengurus anaknya sendiri,sementara Rama di asuh nenek!" "Bingung ya?umumnya seorang anak memang tinggal bersama orang tuanya.Namun karena alasan tertentu ada juga anak yang tinggal dengan orang lain".jawab nenek "Dan alasan itu ,karena mereka tidak mau repot mengasuh anaknya kan?" potong aku sengit "Kreekk..." suara pintu terbuka dan sesosok wanita terlihat berjalan menuju ke arahku sambil menagis. "Bukanya bunda tidak mau mengurus kamu ,semua itu karena ada alasan .Bunda sayang kamu Rama".Ternyata itu bunda yang mendengar pembicaraanku dengan nenek . "Alasan apa bunda?kenapa bunda tidak memberikan sedikit waktu buat Rama? bunda hanya memikirkan kerja dan kerja!" jawabku mendesak sampaiku meneteskan air mata. "Bunda bekerja banting tulang juga buat kamu Rama,tidak ada maksud yang lain bunda bekerja.Itu semua hanya buat kamu!" "Buat aku? terus adakah bunda di saat aku sedang sedih?adakah bunda di saat aku sedang susah?adakah bunda di saat aku sangat membutuhkan bunda?Bunda selalu gak pernah ada sekalipun buat aku! yang aku butuhkan hanya kasih sayang bunda!".Air mataku terus mengalir.Bunda langsung menghampiriku dan mengusap air mataku. "Maafkan bunda yang selama ini tidak memberikan kasih sayang dan perhatian buat kamu.Bunda akan usahakan membagi waktu kerja bunda hanya buat kamu" Tiba-tiba ada aliran haru di dadaku saat mendengar perkataan bunda.Keraguan kasih sayang bunda perlahan hilang sudah.Aku langsung bangkit dari tempat duduku dan aku langsung memeluk bunda. "Ia bunda Rama maafkan!,maafkan Rama juga yang berfikir kalau bunda tidak menyayangi Rama selama ini!"Jawabku sambil meminta maaf kepada bunda.Tangis dan harupun bergema di pagi itu sampai-sampai nenek juga ikut menangis haru. Bila nanti sewaktu-waktu hatiku ragu akan kasih sayang bunda,aku akan selalu berdo'a untuknya agar hatiku merasa tenang.Namun aku yakin ,bunda amat menyayangiku .Keyakinan ini akan aku jaga baik-baik.Kini akuu tidak akan berfikiran negatif terhadap bunda .Karena bunda akan selalu menyayangiku.Dan satu lagi hal yang terpenting.Surga itu ada di telapak kaki bunda.
By R.maulana Z.W Class X7

cerpen

Cerita Rakyat Jawa Timur

Dahulu, di lautan luas sering terjadi perkelahian antara ikan hiu Sura dengan Buaya. Mereka berkelahi hanya karena berebut mangsa. Keduanya sama-sama kuat, sama-sama tangkas, sama-sama cerdik, sama-sama ganas, dan sama-sama rakus. Sudah berkali-kali mereka berkelahi belum pernah ada yang menang atau pun yang kalah. Akhimya mereka mengadakan kesepakatan.

“Aku bosan terus-menerus berkelahi, Buaya,” kata ikan Sura.

“Aku juga, Sura. Apa yang harus kita lakukan agar kita tidak lagi berkelahi?” tanya Buaya.

Ikan Hiu Sura yang sudah memiliki rertcana untuk menghentikan perkelahiannya dengan Buaya segera menerangkan.

“Untuk mencegah perkelahian di antara kita, sebaiknya kita membagi daerah kekuasaan menjadi dua. Aku berkuasa sepenuhnyadi dalam air dan harus mencari mangsa di dalam air, sedangkan kamu berkuasa di daratan dan mangsamu harus yang berada di daratan. Sebagai batas antara daratan dan air, kita tentukan batasnya, yaitu tempat yang dicapai oleh air laut pada waktu pasang surut!”

“Baik aku setujui gagasanmu itu!” kata Buaya.

Dengan adanya pembagian wilayah kekuasaan, maka tidak ada perkelahian lagi antara Sura dan Buaya. Keduanya telah sepakat untuk menghormati wilayah masing-masing.

Tetapi pada suatu hari, Ikan Hiu Sura mencari mangsa di sungai. Hal ini dilakukan dengan sembunyi-sembunyi agar Buaya tidak mengetahui. Mula-mula hal ini memarig tidak ketahuan. Tetapi pada suatu hari Buaya memergoki perbuatan Ikan Hiu Sura ini. Tentu saja Buaya sangat marah melihat Ikan Hiu Sura melanggar janjinya.

“Hai Sura, mengapa kamu melanggar peraturan yang telah kita sepakati berdua? Mengapa kamu berani memasuki sungai yang merupakan wilayah kekuasaanku?” tanya Buaya.

Ikan Hiu Sura yang tak merasa bersalah tenang-tenang saja. “Aku melanggar kesepakatan? Bukankah sungai ini berair.

Bukankah aku sudah bilang bahwa aku adalah penguasa di air? Nah, sungai ini ‘kan ada airnya, jadi juga termasuk daerah kekuasaanku,” kata Ikan Hiu Sura.

“Apa? Sungai itu ‘kari tempatnya di darat, sedangkan daerah kekuasaanmu ada di laut, berarti sungai itu adalah daerah kekuasaanku!” Buaya ngotot.

“Tidak bisa. Aku “kan tidak pernah bilang kalau di air hanya air laut, tetapi juga air sungai,” jawab Ikan Hiu Sura.

“Kau sengaja mencari gara-gara, Sura?”

“Tidak! Kukira alasanku cukup kuat dan aku memang di pihak yang benar!” kata Sura.

“Kau sengaja mengakaliku. Aku tidak sebodoh yang kau kira!” kata Buaya mulai marah.

“Aku tak peduli kau bodoh atau pintar, yang penting air sungai dan air laut adalah kekuasaanku!” Sura tetap tak mau kalah.

“Kalau begitu kamu memang bermaksud membohongiku ? Dengan demikian perjanjian kita batal! Siapa yang memiliki kekuatan yang paling hebat, dialah yang akan menjadi penguasa tunggal!” kata Buaya.

“Berkelahi lagi, siapa takuuut!” tantang Sura dengan pongahnya.

Pertarungan sengit antara Ikan Hiu Sura dan Buaya terjadi lagi. Pertarungan kali ini semakin seru dan dahsyat. Saling menerjang dan menerkam, saling menggigit dan memukul. Dalam waktu sekejap, air di sekitarnya menjadi merah oleh darah yang keluar dari luka-luka kedua binatang itu. Mereka terus bertarung mati-matian tanpa istirahat sama sekali.

Dalam pertarungan dahsyat ini, Buaya mendapat gigitan Ikan Hiu Sura di pangkal ekornya sebelah kanan. Selanjutnya, ekornya itu terpaksa selalu membelok ke kiri. Sementara ikan Sura juga tergigiut ekornya hingga hampir putus lalu ikan Sura kembali ke lautan. Buaya puas telah dapat mempertahankan daerahnya.

Pertarungan antara Ikan Hiu yang bernama Sura dengan Buaya ini sangat berkesan di hati masyarakat Surabaya. Oleh karena itu, nama Surabaya selalu dikait-kaitkan dengan peristiwa ini. Dari peristiwa inilah kemudian dibuat lambang Kota Madya Surabaya yaitu gambar ikan sura dan buaya.

Namun adajugayang berpendapat Surabaya berasal dari Kata Sura dan Baya. Sura berarti Jaya atau selamat Baya berarti bahaya, jadi Surabaya berarti selamat menghadapi bahaya. Bahaya yang dimaksud adalah serangah tentara Tar-tar yang hendak menghukum Raja Jawa.Seharusnya yang dihukum adalah Kertanegara, karena Kertanegara sudah tewas terbunuh, maka Jayakatwang yang diserbu oleh tentara Tar-tar. Setelah mengalahkan Jayakatwang orang-orang Tar-Tar merampas harta benda dan puluhan gadis-gadis cantik untuk dibawa ke Tiongkok. Raden Wijaya tidak terima diperlakukan sepereti ini. Dengan siasat yang jitu, Raden Wijaya menyerang tentara Tar-Tar di pelabuhan Ujung Galuh hingga mereka menyingkir kembali ke Tiongkok.

Selanjutnya, dari hari peristiwa kemenangan Raden Wijaya inilah ditetapkan sebagai hari jadi Kota Surabaya.

Surabaya sepertinya sudah ditakdirkan untuk terus bergolak. Tanggal 10 Nopmber 1945 adalah bukti jati diri warga Surabaya yaitu berani menghadapi bahaya serangan Inggris dan Belanda.

Di jaman sekarang, pertarungan memperebutkan wilayah air dan darat terus berlanjut. Di kala musim penghujan tiba kadangkala banjir menguasai kota Surabaya. Di musim kemarau kadangkala tenpat-tempat genangan air menjadi daratan kering. Itulah Surabaya.
by Henny Class X 7

Selasa, 23 November 2010

TUGAS

Senin, 15 November 2010

DILARANG JATUH CINTA

Wah! Semua mata terbelalak -- berpusat kepada laki-laki yang berdiri persis di atas atap gedung berlantai 33, siap untuk bunuh diri. Sejumlah polisi sibuk mengamankan lokasi yang dipenuhi orang-orang yang ingin menyaksikan peristiwa tragis itu secara langsung, dengan berbagai ekspresi yang tak kalah seru. Ada yang bergidik, ada yang terbelalak histeris, ada juga yang terkagum-kagum.
Situasi heboh itu melumpuhkan lalulintas. Beberapa polisi sibuk berdebat dan stres -- mencari solusi bagaimana mencegah orang sableng itu agar tidak mewujudkan kegilaannya. Ada juga polisi yang langsung menghubungi pihak rumah sakit untuk segera mengirimkan ambulans.
Mengapa ada yang ingin bunuh diri?
Silakan tanya kepada para penduduk di sebuah negeri yang sedang dilanda cinta, atau kepada seorang laki-laki muda yang tampan, yang kini berdiri gagah dan tenang di bibir gedung pencakar langit, dan siap terjun bebas. Padahal, embun masih terjun ke bawah ketika polisi yang memanjat baru mencapai setengah gedung.
Orang-orang pun berteriak histeris. Dan, lihatlah, seperti tubuh yang bunuh diri pertama, wanita itu juga melayang-layang ke bawah. Dari tubuhnya, satu per satu tumbuh bunga-bunga yang mekar. Dan, begitu tiba di tanah, tubuhnya telah menjelma sebatang pohon bunga beraneka rupa. Di pucuk bunga terselip kertas yang bertulis, ''Kubuktikan cinta dengan kepasrahan!''
Belum habis keterkejutan orang-orang, kembali terdengar teriakan seseorang, ''Lihat! Di atas gedung bertingkar 52 sana juga ada yang hendak bunuh diri!''
Semua terperangah, berteriak ngeri. ''Kegilaan apa lagi ini?!''
''Lihat! Di gedung 67 tingkat itu juga!''
''Lihat! Di gedung warna kelabu ungu bertingkat 73 itu juga!''
''Lihat! Di atas menara pahlawan itu juga!''
Semua menggigil seputih kapas di ujung ilalang. Bahkan angin pun beringsut ketakutan. Sebab, hari itu lebih sepuluh orang melakukan bunuh diri dengan cara yang sama (melompat dari atas gedung bertingkat) dan motif yang sama atau hampir sama. Mungkinkah cinta yang menciptakan semua tragedi yang mencemaskan ini?
Peristiwa itu mencengangkan semua orang, sekaligus menimbulkan rasa takut dan khawatir yang hebat. Dan peristiwa ini menjadi topik utama di mana-mana, dari kedai kopi, kafe hingga hotel berbintang, terutama menjadi headline koran-koran terkemuka. Berbagai kalangan pengamat memberi komentar dan tanggapan, dari psikolog hingga pengamat sepakbola.
Ternyata, hari demi hari, peristiwa bunuh diri itu tiada henti, terus-menerus terjadi. Sehingga, semakin panjang daftar orang yang mati bunuh diri dengan melompat dari atas gedung. Bahkan menjadi ancaman, melebihi wabah penyakit menular. Bunuh diri itu sudah melanda semua orang, dari jompo hingga anak-anak, dengan teknik yang semakin aneh. Sableng bin edan! Ada yang berpakaian Pangeran, Ratu, Pendekar, Batman, Superman. Ada yang bersalto, jumpalitan di udara, berselancar. Ada pula yang terjun sambil baca puisi.
Penduduk negeri itu semakin dicekam rasa takut dan waswas yang luar biasa. Semua mengkhawatirkan sanak keluarganya dan dirinya akan ikut bunuh diri suatu waktu. Sebab, penyakit bunuh diri itu dengan cepat menyebar dan menjangkiti siapa saja. ''Bila tidak segera dihentikan, anak-anak kita, saudara kita, bahkan kita sendiri akan terpengaruh, dan melakukan tindakan bunuh diri itu.''
''Ya. Ini harus kita hentikan!''
''Bagaimana caranya? Adakah cara jitu yang kamu pikirkan?''
''Ah. Ayo, kalangan intelektual, berpikir dan bertindaklah segera. Jangan cuma ngoceh ke sana ke mari!'' teriak orang-orang, kehilangan arah.
Penduduk semakin panik, saling bertanya satu sama lain. Tetapi, semua menggeleng. Semua angkat bahu. Semua jadi buntu jadi batu. Apa lagi yang dapat dilakukan?
Maka, tanpa dikomando, semua tekun berdoa dan samadi agar wabah penyakit bunuh diri itu segera berakhir. Sayangnya, ketika doa-doa meluncur di udara, burung-burung gagak berebutan menyerbu dan mencabik-cabiknya sehingga tidak pernah sampai di meja kerja Tuhan. Jika pun ada yang sampai, cuma berupa sisa atau percah. Tentu Tuhan tidak sudi mendengarnya. Apalagi Tuhan semakin sibuk menata surga -- sambil mendengarkan musik klasik -- karena kiamat sudah dekat.
Disengat kepasrahan yang mencekam itu, tiba-tiba Maharaja menemukan gagasan, ''Kita bikin pengumuman!'' teriaknya pasti.
Seketika semua melongong. ''Pengumuman? Untuk apa?''
''Di setiap tempat, kita buat pengumuman: Dilarang Jatuh Cinta!''
Semua kurang menanggapi. ''Apakah mungkin efektif untuk mengatasi maut yang mengancam di depan mata kita?''
Maharaja angkat bahu. ''Coba dulu, baru tahu hasilnya,'' jawab Maharaja. ''Masalah utamanya sudah jelas, akibat cinta. Setiap orang yang terjerat cinta, entah mengapa jadi ingin bunuh diri. Satu-satunya cara, ya, kita larang orang-orang jatuh cinta. Siapa pun tak boleh jatuh cinta agar hidup terjamin.''
''Wah, mana mungkin. Jatuh cinta itu manusiawi. Beradab dan berbudaya. Berasal dari hati. Kata hati. Muncul begitu saja -- tanpa diundang. Apalagi, cinta kan pemberian Tuhan,'' protes orang-orang, tak dapat menerima pendapat Maharaja yang dinilai ngawur.
''Terserah. Jika ingin selamat, menjauhlah dari cinta. Kalian jangan pernah jatuh cinta. Mengerti?! Tetapi jika sudah bosan hidup, ya, silakan jatuh cinta!'' tegas Maharaja. ''Sekarang, mari kita pasang pengumuman itu sebanyak-banyaknya dan sebesar-besarnya!''
Meski dijerat tali ketidakmengertian yang luar biasa, pengumuman akhirnya dibuat juga. Dipancangkan dan ditempelkan di mana-mana, termasuk di bandara. Maharaja bahkan melakukan siaran langsung di seluruh televisi:
''Saudara-saudari sekalian yang saya benci. Sebab, mulai sekarang, saya tak ingin mencintai, agar berumur panjang. Saya harus benar-benar dipenuhi kebencian. Seperti kita saksikan bersama-sama, cinta telah menyebabkan banyak orang bunuh diri. Cinta telah membutakan mata. Cinta telah merenggut nyawa sanak keluarga kita. Cinta mengancam kita. Maka, dengan ini, kepada semua yang mendengarkan pengumuman ini, saya tegaskan: dilarang jatuh cinta! Kita harus melawan cinta. Kita tegas-tegas menolak cinta. Cinta tidak memberi apa-apa yang berharga bagi kita, cuma kematian. Mengerikan, bukan? Mulai sekarang, kita proklamirkan semboyan baru kita: hidup sehat tanpa cinta. Hiduplah dengan saling membenci, bercuriga, menghasut, dan sebagainya. Jangan pernah mencintai!''
Aneh. Penduduk bertepuk sorak menyambut pengumuman itu. Bahkan, untuk selanjutnya, banyak yang memuji kebijaksanaan Maharaja sebagai sikap brilian. Mereka merasa telah menemukan solusi jitu memberantas wabah penyakit bunuh diri itu. Hidup tanpa cinta, tidak terlalu buruk demi hari depan yang lebih baik. Dengan saling membenci, esok yang lebih cerah dan terjamin siapa tahu segera tercapai.
Hari masih terlalu subuh. Ayam dan burung-burung masih ngorok. Tetapi keributan orang-orang dan kesibukan polisi telah merobek cadar ketenangan. Apalagi wartawan-wartawan sibuk meliput dan melaporkan -- blizt dan lampu kamera televisi berpantulan.
Apa yang sedang terjadi. Wah. Sungguh mengejutkan dan mencengangkan! Betapa tidak, di depan gedung istana Maharaja berlantai 113 yang mencuat menusuk langit kelam, Maharaja dengan masih memakai piyama sedang berdiri di atasnya bersiap-siap bunuh diri.
Orang-orang menahan napas dan terbelalak ngeri menyaksikan tragedi ini. Sementara, istrinya, Maharani menyorot api kebencian, ''Biarkan ia menikmati kesempurnaan cintanya!''
Maharaja mengembangkan tangan. ''Ah. Ternyata cinta itu indah. Kita tak dapat hidup tanpa cinta. Cinta itu anugerah. Berdosalah orang-orang yang tak memiliki cinta!'' teriak Maharaja, lalu melompat ke bawah. Tubuhnya melayang dan ditumbuhi bunga-bunga mekar.
Tiba-tiba menyusul sesosok tubuh wanita muda yang sintal, melompat sembari bersenandung lagu cinta. Tubuhnya juga melayang, seperti menari -- dan ditumbuhi bunga-bunga mekar.
Begitu tiba di tanah, bunga-bunga itu pelahan merambat dan menyatu, lalu membesar dan menjadi belukar yang menjalari dinding-dinding istana dan rumah tangga-rumah tangga.
Semua melotot heran. ''Mengapa Maharaja bisa segila itu?''
''Selingkuh. Ia selingkuh dengan sekretarisnya!'' cibir Maharani sambil meludah ke tengah belukar itu.
Akibat ludah itu, tiba-tiba belukar itu bergerak-gerak liar sepenuh nafsu kelabu, membelit kedua kaki Maharani, dan menariknya, ''Cintakah?!''
Jakarta, 2003/2004

Sabtu, 13 November 2010

tugas tik


Terimakasih, semoga artikel ini bermanfaat bagi pembacanya....

Selasa, 09 November 2010

TUGAS


KATA-KATA HHDSKJJKKNLDKNMNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNFDJOKNJHFOKDNHJFJDNHJNHDKJGNGKGNFVDFNGDFNGNDKFMGVKMKGMDFK

TUGAS VECTOR